Mencari

Kebahagiaan

Sejati

Tidak ada definisi atau teori yang mampu menjelaskan tepat makna kebahagiaan.

Hal lain yang dia syukuri adalah keluarga yang selalu mendukungnya. Anak pertama dari dua bersaudara itu mengatakan, sikap saling mendukung antara anggota keluarga membantu menjaga keharmonisan hubungan.

 

Roy tidak mau mengecewakan orang tuanya, meski mereka tidak pernah mempermasalahkan pekerjaan, kondisi Roy, atau menanyakan soal pasangan hidup. Keluarga merupakan salah satu sumber kebahagiaan bagi Roy yang akan terus dia jaga.

 

Setelah kondisinya yang secara umum tidak bahagia pada 2021, Roy merencanakan sejumlah hal pada 2022. Dia ingin lebih fokus dan meningkatkan hal-hal yang ada saat ini. Roy juga bertekad mempelajari hal-hal baru dan terus tumbuh.

 

"Juga tak lupa membantu sesama, karena saya yakin ketika saya berbuat baik kepada orang, saya akan bahagia. Orang lain juga akan baik kepada saya dan suatu saat ada orang lain yang menolong saya," ujarnya.

 

Menurut psikiater Esther Sinsuw, tidak mudah menentukan atau menilai suatu kebahagiaan. Pasalnya, tidak ada suatu definisi ataupun teori yang mampu menjelaskan secara tepat mengenai kebahagiaan.

 

Psikiater dengan peminatan fokus pada masalah adiksi (penyalahgunaan zat/narkoba) serta problematika keluarga (marital dan psikoseksual) ini mencermati, hampir semua survei maupun penelitian mengenai kebahagiaan sebenarnya lebih banyak mengukur kepuasan hidup berupa afeksi atau apa yang dirasakan.

 

Hal lain yang diukur termasuk tingkat kesejahteraan terkait ekonomi dan pemenuhan kebutuhan. "Dalam pandangan saya, kebahagiaan tidak cukup hanya digambarkan melalui skala kepuasan atas pencapaian hidup ataupun pemenuhan dari segala harapan atau keinginan dalam hidup," ungkapnya.

 

Selalu bersyukur

 

Bagi Esther, kebahagiaan merupakan suatu kondisi yang sangat erat kaitannya dengan hal spiritual (soul). Bersyukur atas keadaan atau situasi kehidupan yang sedang dialami, baik secara afeksi maupun kognisi.

 

Rasa syukur itu mampu diungkapkan dalam berbagai situasi, bahkan saat beban hidup terasa berat sekalipun. Misalnya, saat sedang sakit, tidak memiliki pekerjaan/penghasilan, kehilangan orang yang dikasihi, dan lainnya.

 

Penderitaan, rasa sakit, dan keterpurukan yang sedang dialami tidak mengurangi kebahagiaan yang dirasakan seseorang. Dia tetap mampu memiliki harapan dan tidak merasa putus asa ataupun kehilangan makna hidup.

Tetap bahagia meski berada dalam situasi sulit tentu bukan hal mudah. Namun, hal ini tetap dapat diwujudkan bersama. Bagaimana caranya? Berikut tip dari psikiater Esther Sinsuw:

Mulailah melatih diri menjadi pendengar yang baik dan penuh empati.

 

Jadilah pendengar aktif dan tidak buru-buru memberi penilaian. Usahakan melakukan rekonfirmasi sesegera mungkin bila terjadi salah paham.

Teruslah melatih diri dalam meningkatkan ketahanan mental.

 

Caranya dengan selalu mengembangkan kemampuan beradaptasi terhadap berbagai situasi baru yang belum tentu menyenangkan.

Buatlah komunikasi yang hangat di antara anggota keluarga.

 

Siapkan waktu yang cukup dan berkualitas untuk saling berbagi antara anak dan orang tua, maupun antara suami dan istri. Selain itu, "Membina komunikasi dan kontak sosial dengan lingkungan sekitar, seperti keluarga, teman, tetangga, dan komunitas di lingkungan," kata Esther.

Tidak saling menyalahkan atau menunjuk kekurangan orang lain.

 

Tentu akan lebih baik lagi jika kita lebih banyak melakukan introspeksi diri.

Terus bersyukur.

 

Dengan berbagai tantangan yang ada, Esther optimistis kebahagiaan tetap dapat ditingkatkan walaupun di masa pandemi. Dengan catatan, setiap orang sadar mengembangkan berbagai hal, salah satunya kebiasaan bersyukur.

aliko sunawang/UNSPLASH

FREEPIK

top

Sebaliknya, kekecewaan, pesimisme, dan sakit hati yang terus dirasakan membuat seseorang tidak akan mampu menikmati hidup. Biasanya, karena ketidakmampuan menerima dan menyesuaikan diri yang membawa pada keputusasaan.

 

Hal tersebut kerap berujung pada berbagai kondisi gangguan jiwa karena tidak mampu menemukan makna kebahagiaan sejati. Beberapa contohnya seperti gangguan kecemasan, depresi, hingga perilaku mengakhiri hidup.

 

Psikiater yang praktik di Primaya Hospital PGI Cikini itu sempat juga menyampaikan tanggapan mengenai Indeks Kebahagiaan 2021 yang dirilis BPS. Esther berujar, mungkin saja kebahagiaan sebagian masyarakat Indonesia memang meningkat.

 

Dia berpendapat, tampaknya peningkatan kebahagiaan lebih didominasi anak muda yang menggeluti dunia wirausaha. Tepatnya, mereka yang mampu berkarya melalui usaha daring yang tidak terbatas oleh tempat, jarak, dan waktu.

 

Situasi di tengah pandemi memungkinkan mereka untuk mengembangkan potensi yang ada pada saat yang tepat. Sementara, sebagian masyarakat memiliki tingkat kebahagiaan yang justru menurun di saat pandemi.

 

Berdasarkan data BPS, kelompok usia di atas 65 tahun memiliki indeks kebahagiaan paling rendah. Esther memprediksi, penyebabnya mungkin berkaitan dengan keterbatasan gerak dan kontak sosial di masa pandemi.

 

Dia menyoroti pula tantangan bagi keluarga Indonesia di masa pandemi. Saat ini, ketiadaan batas pada masyarakat yang melek teknologi dapat menjadi tantangan tersendiri, karena gawai mampu menjangkau ke tempat paling privasi.

 

Teknologi komunikasi yang canggih itu menjadi juru selamat sekaligus malapetaka bila tidak digunakan secara bijaksana. Tantangan lain, pandemi menyebabkan silaturahim dengan anggota keluarga atau kawan sukar dilakoni.

 

Padahal, kegiatan itu bisa membawa penyegaran suasana, terutama untuk kalangan lanjut usia yang tidak lagi memiliki kegiatan rutin. Tanpa berkumpul dengan kerabat dan sahabat, bisa memicu perasaan terisolasi.

rendy novanting/unsplash

FREEPIK

Jurus ‘Berkelit’ di Masa Sulit

Bangun Keluarga dengan ‘4 Fit’

Tak lupa membantu sesama, karena saya yakin ketika saya berbuat baik kepada orang, saya akan bahagia. Orang lain juga akan baik kepada saya dan suatu saat ada orang lain yang menolong saya.

Kalau kita ingin bangun keluarga yang bahagia, pondasinya solid agar bisa mengatasi tantangan, kita perlu cinta di sini

Apakah Anda bahagia dengan hidup yang tengah dijalani? Pertanyaan sederhana itu mungkin berujung pada jawaban berbeda untuk setiap orang. Faktanya, mengukur tingkat kebahagiaan bukan hal yang mudah.

 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencoba merangkum tingkat kebahagiaan dalam Indeks Kebahagiaan 2021. Sebelumnya, BPS telah beberapa kali melakukan survei pengukuran tingkat kebahagiaan (SPTK), yaitu pada 2014 dan 2017.

 

Dalam publikasinya, BPS mencantumkan tiga hal yang menjadi landasan mengukur kebahagiaan, yakni kepuasan hidup, perasaan, dan makna hidup. Dibandingkan 2017, indeks kebahagiaan di Indonesia meningkat sebesar 0,80 poin dari 70,69 menjadi 71,49.

 

Meski statistik bicara demikian, bukan berarti seseorang merasa lebih bahagia pada 2021 dibandingkan empat tahun silam. Hal tersebut dialami oleh Roy Iman yang mengaku secara personal tidak bahagia sepanjang 2021.

 

Pemuda 25 tahun tersebut sukar merasa bahagia lantaran memikirkan kondisinya di masa kini serta masa depan. Pada 2016, Roy menapaki karier di Jakarta dan berharap kondisinya lebih baik, namun merasa itu belum terwujud.

 

Pemuda yang berdomisili di Bekasi itu gonta-ganti pekerjaan, sempat menganggur, dan pernah menjadi pekerja lepas. Sampai saat ini Roy masih berjuang mengejar apa yang dia impikan dan menyelesaikan semua permasalahannya.

 

"Saya tidak merasa jauh lebih bahagia tapi bukan berarti saya tidak bersyukur. Saya bersyukur dengan apa-apa yang saat ini telah saya capai dan kondisi yang saat ini sedang saya hadapi," ucap Roy yang kini berprofesi sebagai karyawan di salah satu instansi.

 

Faktor kebahagiaan yang dia rasakan juga dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya. Sepanjang 2021, dia mendengar kabar kawan kehilangan pekerjaan, menghadapi kesulitan hidup, atau punya permasalahan keluarga.

 

Pada 2021 pula, bisnis sampingan Roy tumbang akibat terdampak pandemi Covid-19. Roy memilih untuk bersabar dan bertahan di kondisi yang menurutnya ‘abu-abu’ di tengah pandemi yang melanda.

 

"Saya mencoba untuk mencari kebahagiaan lain, mulai dari berbagi kepada sesama meski dalam keadaan kurang, mencoba untuk tersenyum meski hati kebingungan, dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan," tuturnya.

Membangun rumah tangga merupakan salah satu langkah penting dalam kehidupan seseorang. Berbagai kesiapan diperlukan untuk membangun rumah tangga dan keluarga, termasuk kesiapan mental dan kesiapan finansial.

 

Namun faktanya, perceraian memang menghantui setiap pasangan. Menurut data yang dihimpun konsultan pernikahan Indra Noveldy, angka perceraian setiap tahun mengalami kenaikan baik angka pengajuan dan angka pemutusan.

 

Dalam data itu pula, dia menyebut angka yang paling tinggi di antara kasus cerai gugat dan cerai talak adalah cerai gugat. “Lebih dari 70 persen yang menggugat cerai adalah perempuan. Dan realitanya, semakin berdayanya perempuan, semakin berani menggugat cerai pasangannya,” jelas Noveldy dalam perbincangan Professional Women’s Week yang disimak baru-baru ini secara virtual.

 

Merebaknya pandemi dituding menjadi salah satu penyebab angka perceraian yang baru-baru ini terjadi. Pasangan-pasangan yang berada di Jepang, Cina, dan Amerika Serikat mengalami peningkatan angka perceraian selama pandemi. Sementara, di Indonesia, merebaknya pandemi malah menimbulkan masalah baru: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

 

Penulis buku berjudul ‘Menikah untuk Bahagia’ itu mengatakan sebaiknya kita tak buru-buru menyalahkan pandemi sebagai biang keladi perceraian. Menurutnya, apa yang terjadi saat ini merupakan buah dari hasil apa yang kita lakukan saat sebelum masa pandemi terjadi. “Kalau sekarang kondisi pernikahan kita semakin baik dengan pasangan, berarti sebelum pandemi, kita sudah menanam benih yang luar biasa bagus,” jelas dia.

Noveldy mengatakan, pandemi Covid-19 berdampak kepada perubahan gaya hidup juga berdampak kepada gaya hidup rumah tangga. Perubahan gaya hidup sehari-hari seperti bekerja dari rumah memberikan fenomena yang disebut ‘efek kejut corona’.

 

Lamanya waktu bersama pasangan yang berubah, dari semula yang hanya beberapa jam saja menjadi berjam-jam, membuat masing-masing orang menemukan apa saja yang tidak terlihat sebelumnya. Waktu berinteraksi pun menjadi lebih lama dari saat sebelum pandemi.

 

Menurut Noveldy, para pasangan yang merasa hubungan rumah tangganya baik-baik saja sebelum pandemi dan mulai tidak baik-baik saja setelah pandemi, mereka sebenarnya telah tidak baik-baik saja sejak sebelum pandemi. Hanya, saat sebelum pandemi, semua hal bisa tertutupi karena sedikitnya waktu berinteraksi bagi masing-masing pasangan. “Sekarang bisa terlihat dengan jelas itu, perilaku pasangan kita. Mungkin suka main ponsel sendiri, omongannya tajam, hobinya nonton tv, orangnya ternyata sensi, tukang ngatur, cuek, 'sumbu pendek', malas-malasan. Jadi sudah tidak bisa bersembunyi lagi,” jelas dia.

 

Oleh karenanya, dalam membangun rumah tangga dan membangun keluarga yang bisa menjawab tantangan, Noveldy menekankan, masing-masing keluarga harus siap terlebih dahulu sebelum membangun keluarga. Untuk menjadi siap, masing-masing pasangan harus memiliki kondisi yang sehat dan juga kuat terlebih dahulu.

 

Sementara, untuk bisa menjadi sehat, kita memerlukan parameter yang solid untuk menunjangnya. “Apa parameter Anda sampai berani mengatakan pernikahan Anda baik-baik saja? Jangan sampai kita merasa baik-baik saja selama ini tanpa parameter. Kondisi pandemi adalah salah satu auditor kondisi hubungan kita yang sebelumnya seperti apa,” jelas dia.

 

Artinya, pandemi Covid-19 bukan menjadi alasan utama atau penyebab dari keretakan rumah tangga pasangan. Justru pandemi Covid-19 merupakan salah satu alat untuk mengkoreksi hubungan pasangan selama ini.

belle collective/unsplash

Dalam membangun keluarga yang kuat, Noveldy mengatakan orang tua memiliki tugas untuk memperkuat pondasi untuk menghadapi tantangan anak-anak di masa depan. Dia mengatakan, sebagai orang tua jangan sampai terhanyut dalam pemberdayaan diri sehingga lupa untuk membangun pondasi yang kuat bagi anak-anak kita. “Bahkan banyak yang lupa punya pasangan. Kenapa? Karena saat punya anak biasanya kita fokus kepada anak. Lupa punya suami yang juga butuh disayangi. Makanya kadang-kadang suami cemburu dengan anaknya,” kata Noveldy.

 

Dia menekankan, pernyataan sayang kepada pasangan merupakan hal yang tak lagi berlaku di kehidupan rumah tangga. Menurutnya, pasangan lebih membutuhkan rasa sayang yang nyata dari kita. Dan hal itu bisa dinilai oleh orang-orang terdekat termasuk anak.

 

Dalam berbagi dan bercerita tentang masalah rumah tangga pula, Noveldy menekankan untuk mendapatkan lingkaran yang tak menilai siapa pun dalam permasalahan. Dia mewanti-wanti para pasangan untuk menghindari orang-orang toxic (selalu memberi opini negatif) dan mudah menilai ketika kita berbagi cerita atau masalah.

 

Membangun keluarga yang bersiap dalam tantangan, kata Noveldy, dimulai dari diri sendiri. Pondasi yang solid dalam diri sendiri terdiri atas '4 fit' yaitu fit secara fisik, fit secara spiritual, fit secara keuangan, dan fit secara hubungan.

 

“Kalau kita ingin bangun keluarga yang bahagia, pondasinya solid agar bisa mengatasi tantangan, kita perlu cinta di sini,” kata dia. Sementara, cinta ternyata bukan sebuah kondisi melainkan kata kerja yang membutuhkan usaha.

 

Dia mengatakan, sebagai pasangan baik istri maupun suami, jangan sampai memberikan energi sisa dari energi memberdayakan diri seperti bekerja atau berbisnis, untuk keluarga. Penting bagi kita untuk memprioritaskan keluarga untuk membangun keluarga yang siap dalam tantangan.